"UPACARA ADAT PEMAKAMAN SUKU TORAJA"
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Upacara Adat Pemakaman "Rambu Solo"
Rambu Solo' adalah Upacara Adat Pemakaman yang paling terkenal di Toraja. Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Tingkat Upacara Rambu Solo'
Upacara Rambu Solo' terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yaitu:
1. Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
2. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanak dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
4. Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat
menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada
tebing/liang gua,
atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane). Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi
obyek wisata, seperti di:
1. Londa,
yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat
dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi,
tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan
usia.
2. Lemo
adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang
dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa’.
3. Tampang
Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan
Sangalla’ dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak
serta tulang belulang manusia.
4. Liang
Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah
Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
5. To’Doyan
adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh
giginya).
6. Patane
Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada
tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada
tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan
Sapu Randanan.
7. Ta’pan
Langkan yang berarti istana burung elang.
8. Sipore’
yang artinya “bertemu” adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs
purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada
tebing atau batu cadas.
Tempat
upacara pemakaman adat
Tau-tau
Tau-tau
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum.
Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur
Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau
dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara
adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman
dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum
namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu
membuat persis roman muka almarhum.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja#Upacara_pemakaman